Monday, August 26, 2013

Liburan dimana? Iya di Taman Nasional Ujung Kulon



Sinar cerah matahari siang menyengat semua jengkal kulit yang tak berselimutkan. Terbuai dalam ombang-ambing ombak kecil dan semilir angin laut, terayun dalam buaian keindahan celah kerajaan Poseidon.

Sunyi tanpa suara durukduk dari mesin motor kapal kayu, kami terdampar di tengah lautan. Yupe, sang empunya daya mengalami kendala sehingga kehilangan lajunya. Detik pada jam tangan terus berputar lewat 60 menit atau lebih, dan kami masih memandang bagian langit yang sama, di petak laut yang sama. Sebagian dari kami memilih berkunjung ke lembah utopis dalam lelap dan sebagian lainnya hanya memandang menyerap pemandangan laut hijau biru kelam dalam nyenyat.

“DUK … duk … dukduruduk dukdukduk” batuk dan erang sang motor memecah keheningan panjang yang disambut dengan seruan gembira para penumpang. Perjalanan kami pun berlanjut dari awal Desa Taman Jaya – Ujung Kulon menuju ke Pulau Peucang – Ujung Kulon.

Perjalanan kali ini bermula dari daerah Harmoni - Jakarta Pusat. Tepat pukul 9.30 malam, saat kami bertolak ke Ujung Kulon (Paul, Jo, Merci, Mei, Momo, Calvin, Suyo, Octa, Erin, Setyawan, Harry), berpetualang menuju titik paling barat dari Pulau Jawa.

Ujung Kulon adalah salah satu dari 50 Taman Nasional di Indonesia dan merupakan salah satu dari 5 taman nasional di Indonesia yang berstatus World Heritage Sites (alongside with Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan). Ujung Kulon juga merupakan taman nasional pertama di Indonesia dengan luas 123.000ha dan merupakan wilayah endemik dari beberapa flora dan fauna dilindungi, termasuk Badak Jawa yang sangat terancam punah dan Pohon Kiara.

Kurang lebih 9 jam berkendara membelah jalanan yang relatif lengang dan sampailah kami di Desa Taman Jaya, tempat dimana kami akan memulai babak penyeberangan dengan kapal kayu menuju Pulau Peucang.

Rehat, meluruskan kaki sejenak, sarapan dan sedikit quick refreshment-lah yang kami lakukan setelah memarkir kendaraan, sembari menunggu pemilik kapal kayu beserta awaknya menunaikan ibadah Sholat Ied.

Tepat pukul 9.00 pagi, kami mulai memuat barang bawaan kami yang cukup banyak ke dalam kapal dan segera bergerak membelah air sejuk berwarna gradasi putih, hijau dan biru kelam selama kurang lebih 3 jam ke Pulau Peucang (extra 1 jam karena kapal mogok haha).

Sang surya telah bergeser sedikit ke arah Barat ketika akhirnya kami menginjakkan kaki di dermaga kayu Pulau Peucang, disambut dengan beberapa ekor rusa betina dan anak-anaknya di area lapang berumput di tengah bangunan-bangunan cottage yang disewakan. Rusa, babi hutan, monyet kerdil dan (terkadang) biawak akan semakin banyak bermunculan dari hutan lindung menjelang sore, sungguh suatu pemandangan yang luar biasa bagi kami yang terbiasa memandang kendaraan bermotor dengan polusinya melintas hilir mudik di depan kediaman kami.

Siang pertama di Pulau Peucang kami habiskan dengan bermain-main di Pantai Dermaga Peucang (sebutan saya karena entah apa nama pantainya) hingga sore menjelang. Pantai yang tidaklah luas dan panjang tetapi sangat menggoda dengan pasirnya yang sangat lembut berwarna gading, air yang hangat dengan tingkat kejernihan yang baik.

Petang menjelang dan kami kembali ke cottage untuk mandi dan menyiapkan hidangan makan malam, yang bahan-bahannya kami bawa sendiri.

Info:
-       Listrik hanya tersedia pada pukul 6 sore sampai dengan 6 pagi.
-       Air menggunakan pompa, sehingga tergantung pada pasokan listrik juga.
-       Tidak ada warung/restaurant/toko di Pulau Peucang, selain Kantor Pusat Informasi yang menjual beberapa barang dengan keterbatasan jenis dan jumlah.
-       Air tawarnya bisa dimasak dan diminum, tetapi sebaiknya diendapkan dahulu karena air tawarnya mengandung pasir pantai yang halus.
-       Jangan memberi makan pada hewan-hewan liar yang berkeliaran.
-       Perhatikan pintu dan jendela cottage (pastikan tertutup) serta barang-barang dari monyet-monyet kerdil yang suka mencuri.
-       Restaurant Cottage hanya melayani pembelian makanan dan minuman via paket yang dipesan/dibeli sebelumnya.

Usai makan malam, sebagian dari kami memutuskan kembali ke tengah lautan gelap untuk memancing dan sebagian lainnya memutuskan untuk tetap tinggal, menghabiskan waktu dengan bertukar kalimat dan berbagi cerita serta canda.

Gelapnya malam semakin pekat dan menghamburkan pesona pijar kecil bintang-bintang di semesta. Hawa sejuk, dengan semilir angin laut yang membuai, membawa serta kantuk ke sukma kami. Dengan perlahan namun pasti, kami yang tersisa mulai menyiapkan tempat berbaring merehatkan tubuh ini. Yupe, 4 orang dari 11 orang tidak mendapatkan kamar dan harus puas dengan sleeping bag di ruang tamu cottage yang sangat luas.

“Mbihikk mbihikkk” suara anak rusa di area lapang berumput yang memanggil-manggil induknya (oh entahlah bagaimana menggambarkan bunyi anak rusa dalam kata yang benar haha), yang terkadang disahuti oleh anak babi hutan, adalah melodi penghantar tidur kami dalam pulas.

Sang Mentari kembali menyinari Ujung Kulon dan kami pun siap untuk aktifitas di hari ke dua. Setelah sarapan cepat, kami kembali mengarungi lautan hijau biru kelam menuju pemberhentian pertama kami, yaitu Citerjun.

Snorkeling! Kami habiskan pagi hari hingga tengah hari ke dua dengan ber-snorkeling ria di Citerjun dan di pemberhentian ke dua yaitu Cihandarusa. Unfortunately di kedua tempat tersebut tidaklah memiliki taman laut yang cukup indah, well tetapi tetap fun juga.

Next stop adalah somewhere nowhere di petak lautan Ujung Kulon dan kembali group mancing mania bergantian melempar kail berumpan ke air biru kelam, berharap akan menangkap beberapa ikan yang bisa kami santap pada malam harinya.

Sementara group mancing mania asyik sendiri dengan seruan-seruan keriangan karena kail berumpan disambut oleh ikan-ikan malang, maka sebagian lainnya terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan suka difoto serta golongan suka menfoto dan photo session pun dimulai dengan serunya.

Mentari telah bergeser dari titik tengah dan kapal kayu pun bertolak kembali ke Pulau Peucang, membawa penumpang yang melenguhkan kata lapar haha.
Lepas menenangkan raungan liar dari dalam rongga lambung yang kosong, kami kembali “suit up” untuk fun trekking menuju ke salah satu pantai di Pulau Peucang, Pantai Karang Copong.
Pasukan siap dan kami pun mulai membelah hutan lindung Pulau Peucang yang jelasnya menjadi habitat beberapa jenis hewan terutama rusa, babi hutan, monyet kerdil dan biawak. Jalur trekking sangat mudah, landai, aman dan dalam waktu kurang dari 1 jam, kami telah melihat kilau sang surya terpantul pada lapisan samudera.

yupe, lewat sedikit menunduk di celah sebelah kanan

Sejenak kami membenamkan kaki disejuknya ombak yang menepi ke pantai berkarang dan kami pun melanjutkan trekking kami mendaki sedikit ke bukit tebing kecil untuk melihat pemandangan laut lepas dari lapisan tanah yang lebih tinggi.

Sunset pun tiba dengan tenang, syahdu dan cukup indah untuk menutup aktifitas pada hari ke dua kami. Sekali lagi saya lemparkan pandangan ke kilauan lapisan samudera yang masih memantulkan sedikit sisa sinar sang surya, sebelum beranjak mengejar langkah teman-teman lain yang sudah mendahului membelah hutan lindung kembali ke cottage.


Hm… kurang tepat menyebut sunset tadi sebagai penutup hari, karena sesampai di cottage kembali, yang kami lakukan adalah barbeque haha, yay! Panggangan, arang, daging, udang, dan lain-lain, yang selama ini berdiam di cooler box, keluar juga dan siap disandingkan bersama dengan ikan segar hasil pancingan.

Info:
-       Senter adalah barang yang harus dibawa, karena lepas sunset untuk kembali ke cottage akan gelap tanpa ada penerangan apapun.
-       Obat nyamuk lotion atau spray akan membantu mengusir nyamuk dan serangga.
-       Panggangan, arang dan bahan mentah, kami bawa sendiri dari rumah. Untuk bahan mentah seafood dijual juga di Desa Taman Jaya, meski saat kami tiba, dirasa kurang segar.

Hari ke tiga, sang mentari masih bersinar dengan ceria dan kami telah bersiap di dermaga untuk menuju ke Tanjung Layar, titik terbarat dari Pulau Jawa dan gugusan pulau-pulau kecilnya.

Sekitar 30 menit dalam kapal kayu, kami membelah warna biru kelam yang terkadang berubah menjadi hijau, sebelum sang awak kapal membuang sauhnya beberapa puluh meter dari pantai kecil yang tampak kosong. Rupanya untuk ke Tanjung Layar kami tak bisa melabuhkan kapal kayu karena pantai yang tak berdermaga dan harus dilanjutkan dengan boat kecil yang telah menanti kami sebelumnya (booking sebelumnya).

Beberapa meter dari pantai kecil tempat kami menjejak, diiringi dengan hempasan ombak yang cukup kuat, ternyata ada beberapa padepokan semi terbuka yang menyimpan beberapa foto ilustrasi dari kepulauan setempat dari jaman pendudukan Belanda.

Tanjung Layar merupakan salah satu pantai karang yang memiliki mercusuar era pertama dari pendudukan Belanda. Terceritakan oleh sang ranger yang menemani kami bahwa kawasan Tanjung Layar yang merupakan bagian dari Taman Nasional Ujung Kulon, merupakan habitat dari hewan endemik: Badak Jawa, yang hingga saat ini berjumlah hanya kurang dari 100 ekor dan terancam punah jelasnya.
Dari padepokan tersebut kami melakukan fun trekking selama kurang dari 1 jam, membelah hutan tropis, untuk mencapai pantai dimana batu karang bernama Tanjung Layar itu bercokol. Sang ranger kembali bercerita, sembari memimpin trekking, bahwa kawasan itu memang dulunya dikelolah oleh Belanda dari pembuatan jalan setapak, mercusuar, rumah tahanan, penjara dan coast guard office and residence. Jalan setapak itu memang telah hilang batu-batunya termakan usia tetapi masih meninggalkan bekas dan jejaknya.
Jalan setapak yang mengarahkan kami ke pantai, juga secara berkala dalam jarak, terpagari oleh pohon-pohon raksasa berusia ratusan tahun yang salah satunya menutupi jalan setapak tersebut, sehingga kami harus menembus akarnya, yang berlubang secara dramastis.
tinggi saya 178cm dan saya bisa berdiri tegak dicelah tersebut :)

Debur ombak mulai terdengar dan diujung jalan setapak, kami disambut dengan apa yang biasa dijuluki batu dinosaurus, yang mana merupakan gugusan batu karang raksasa yang menjadi pondasi tebing dan sekaligus melindungi savana kecil dibelakangnya dari terjangan ombak yang kuat dan tinggi menumbur karang tersebut hingga beberapa meter dan mengucurkan sisa ombaknya menjadi air terjun-air terjun kecil terintegrasi (istilah saya haha) yang indah sekali, meluncur turun ke arah gravitasi, membentuk kubangan kecil dipenghujungnya.
harusnya airnya turun jadi air terjun kecil2
Melangkah beberapa jengkal dari batu dinosaurus adalah savana kecil yang hijau dan indah berteraskan pantai karang yang sempit dengan debur ombaknya yang luar biasa membentuk kolam-kolam kecil dalam celah-celah batu karang. Tak jauh dari pantai tampaklah batu karang bernama Tanjung Layar sebagai monument dari kawasan ini, berdiri tegak terterpa deburan ombak menghempas, dengan secuil area hijau sebagai mahkotanya.
tuh batu karang yang runcing itu yang namanya Tanjung Layar (konon)
Cukup singkat waktu yang kami habiskan di Tanjung Layar karena kami harus kembali ke Desa Taman Jaya dan menempuh perjalanan darat kembali ke Jakarta.
Sang sunset seolah turut melambaikan berkas sinar merahnya mengucap perpisahan kepada kami. Sesaat sebelum petang menjelang, kami meninggalkan Desa Taman Jaya menuju Jakarta dengan segudang moment yang tak semuanya bisa terabadikan pada kamera kami tapi akan kekal dalam ingatan dan cerita.

No comments:

Post a Comment