“Kapan kawin?”
“Nunggu apa? Keburu tua lho!”
“Kamu gay (lesbian) yah?”
“Ntar anakmu masih kecil-kecil, kamunya sudah tua!”
… dan masih banyak lagi bentuk kata lain dari pertanyaan-pertanyaan
yang serupa. Bagi kaum single (khususnya yang sudah cukup umur), pastinya sudah
tidak asing dan tidak luput dari pertanyaan-pertanyaan ini, terutama pada
acara-acara keluarga atau reuni.
Well, saya pun termasuk dalam kategori yang sering sekali menerima
pertanyaan-pertanyaan itu.
Siapakah yang sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu? Tentunya
para elderly dan teman-teman yang sudah menikah dan at least (so far) cukup
atau bahagia dalam kehidupan berumah-tangganya.
Hal ini jelasnya nyata pada apa yang saya amati.
Teman dan rekan kerja yang tidak pernah menanyakan ke-single-an saya, mostly
adalah mereka yang belum menikah juga atau yang telah mencicipi pahitnya
kehidupan berumah tangga.
Mereka yang sedang dalam masalah rumah tangga kronis dan yang sudah
divorce, malahan lebih cuek dengan status single saya dan bahkan lebih wise
dalam memberi inputan tentang kata “pernikahan”.
Sempat seorang rekan kerja berkata (tidak dengan kata-kata yang sama
benar) “Buat apa juga menikah jika malah memperberat kesedihan saat masih single.”
Begitu pula dengan kata-kata (yang menurut saya) bijak yang saya baca
di sebuah buku (tidak dengan kata-kata yang sama benar) “kesenangan single akan
digantikan dengan kesenangan berumah tangga dan kesedihan single juga akan
digantikan dengan kesedihan berumah tangga.”