Friday, August 22, 2014

Penjelajahan di Alor - Nusa Tenggara Timur, Indonesiaku



“Hat hat hat hat…” “Hat hat hat hat…” seruan prajurit-prajurit Takpala, diikuti derasan dendang para wanita-wanita Takpala yang bergerak menari gemulai, menuntun kami menaiki undak batu dan berjalan melalui setapak jalanan batu menuju ke pusat desa mereka.

“Bagus yah tapi arusnya kuat banget di sini, cape banget nih baliknya” mengomentari taman laut dan arus di Hari Lolong.
“Iya, kalau ke sananya mah enak banget karena kebawa arus”
“Iya haha, baliknya kudu berhenti beberapa kali buat istirahat”

“Gimana? Puas sudah?”
“Puas dan no regret buat balik Jakarta siang ini” seusai menikmati taman laut Pantai Sebanjar, untuk kedua kalinya.
“Haha… pastinya”

“Halo” seruan bersahabat anak-anak Ternate.
“Halo” “Halo” “ Halo” yang tak ada habisnya terserukan. beriring senyum lebar dan gelak tawa.

Cuplikan-cuplikan kisah itu masih teriang kuat dalam kelebatan memori. Seolah takkan pernah habis untuk dibicarakan lagi, diceritakan lagi dan tentunya tak akan hilang dengan berlalunya waktu. Memori tentang penjelajahan saya di Pulau Alor yang terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesiaku.

***
“Lihat tuh, rambutnya lucu yah! warna ungu” kata saya ke Adi, sementara kami duduk menunggu waktu boarding di Starbucks Soekarno Hatta Terminal 3.
“Bukanlah, itu mah dia pakai topi” timpal Adi.
“Bukan Di! Itu rambut haha” gelak saya.
“Hah! *memperhatikan lebih seksama* eh bener lho. Iya rambutnya ungu” kata Adi lagi.
Si ungu yang ternyata bernama Upi, salah satu dari 12 teman seperjalanan di Alor yang sama -sama bergabung dengan jelajah ala Tukang Jalan.

***
Hari 1,
Sang mentari mulai menebar sinar dan hangatnya pagi ke belahan bumi Indonesia Timur, saat roda pesawat menyentuh landasan Bandara Udara El Tari di Kota Kupang.

Sekitar 3 jam kemudian kami melanjutkan penerbangan ke Pulau Alor sebagai tujuan utama. Menjelang tengah hari, saya pun menjejakkan langkah di Bandara  Udara Mali - Pulau Alor. Ini adalah pertama kalinya saya terbang dengan pesawat baling-baling dan sebidang pulau kecil ini merupakan titik ter-Timur Indonesia yang pernah saya injak, sampai saat ini.
welcome to Alor
Kurang dari satu jam kemudian, kami tiba di home stay Om Chris yang baik, tempat kami akan menghabiskan beberapa malam di Alor. Sejenak kami rehat dan makan siang sebelum kemudian beranjak ke Desa Aimoli, memburu keindahan sunset Alor di ujung kepala burung dari pulau kecil ini. Dari Dermaga Kokar – Desa Aimoli, kami melihat sang mentari mulai tenggelam, menyisakan semburat kilau jingganya, menghilang tenggelam di batas horizon Laut Flores.
kamar di home stay Om Chris
kamar mandi di home stay Om Chris
living and dinning room di home stay Om Chris
Sunset di Dermaga Kokar
***
Hari 2,
Mentari pagi pertama di Alor dan saya berdiri bersama teman-teman seperjalanan di atas Dermaga batu Alor Kecil., menunggu waktu untuk menaiki kapal motor kayu besar yang akan membawa kami berkelana di beberapa tempat untuk menikmati indahnya landscape Alor dan taman lautnya.
view dari Dermaga Alor Kecil
view dari Dermaga Alor Kecil
view dari Dermaga Alor Kecil
view dari Dermaga Alor Kecil
“Duk duk..duk duk..dukdudkdukdurudukduruduk” suara mesin kapal motor kayu menambah hiruk pikuk suara di Demarga Alor Kecil dan satu persatu kami menaiki kapal tersebut, bertolak menuju pemberhentian pertama yaitu Pantai Sebanjar.

“Shit! Camera underwater gue ketinggalan di kamar” seru saya dan membuat hari ini sedikit bercela bagi saya.

Pantai Sebanjar
Pantai dengan garis pantai yang cukup panjang dan dengan perairan dangkal yang cukup lebar, sebelum menjorok curam menjadi lereng di laut dalam. So far inilah permata Alor versi saya dan juga spot favorite saya di Alor untuk snorkeling. Taman lautnya yang sangat indah dengan permadani soft coral-nya yang tumbuh rapat satu sama lain bergerak tenang melambai, berdansa dengan ikan-ikan yang berada disekelilingnya.

Pulau Pura
Spot snorkeling-nya cenderung tak memiliki pantai dan mempunyai perairan dangkal yang cukup luas, sehingga buat yang phobia laut dalam, snorkeling di sini tentunya menjadi lebih nyaman. Pada saat-saat tertentu arus dingin kadang berhembus kuat sehingga satu atau dua kali saya sempat menggigil di dalam air. Lantai laut masih dipenuhi dengan soft coral, meski tak serapat yang ada di Sebanjar.

Pantai Pantar Kumbang
Memiliki pasir putih yang lembut dengan garis pantai yang panjang. Airnya sejuk hangat dan jernih sekali, pas banget buat foto-foto and that’s what we did.
Pantai Pantar Kumbang
Pulau Kepa
Sebuah pulau kecil yang terletak tepat disebelah Pulau Alor. Menyeberang ke Kepa dari Dermaga Alor Kecil hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 10 menit dengan kapal kayu kecil bermotor. Di pulau ini memang, sampai saat saya datang, belum dilengkapi dengan aliran listrik dan air bersih, sehingga untuk penerangan di malam hari harus menggunakan genset atau lampu solar. Air bersih di Pulau Kepa juga masih harus dibawa langsung dari Pulau Alor.
Di pulau kecil yang memiliki makam keramat di sisi luarnya ini, juga terdapat La Petite Homestay yang dimiliki oleh orang Perancis. La Petite memiliki beberapa cottage yang bisa disewa dengan harga yang sangat-sangat terjangkau per malamnya. Sayangnya La Petite sering penuh dan karena mereka ada provider untuk diving, maka dalam kondisi ramai, para diver-lah yang diutamakan bisa menginap di La Petite.
Pulau Kepa
Pulau Kepa
Pulau Alor dari pulau Kepa
Sempat saya ber-snorkeling sebentar dengan Adi, Upi dan Rudi sebentar. Taman lautnya tak seindah spot yang lain, tetapi memang konon spot snorkeling Pulau Kepa yang indah ada di sisi lain, yang sayangnya dilalui arus yang sangat kuat.
unloading di Dermaga Alor Kecil
***
Hari 3,
Kembali duduk di spot favorite saya di kapal yang melaju membelah perairan Alor, menuju pemberhentian pertama kami di hari kedua ini. Menikmati hembusan sejuk angin laut Alor menerpa muka saya sembari menyimak celoteh ceria dari teman-teman seperjalanan. Kali ini tak ada yang mengganjal di hati, karena camera underwater saya sudah aman terbawa, untuk sedikit mengabadikan keindahan pertiwi Alor dan menjadi pelipur lara saat nantinya merindu akan Alor.

Bia Tabang
Masih menyajikan keindahan taman laut khas Alor dengan soft coral-nya yang tersebar cukup rapat. Alor memang merupakan kerajaan soft coral tetapi dengan sedikit clownfish. It’s like abandoned real estate. Berbanding terbalik dengan keragaman soft coral-nya, ragam ikan di Alor tidak terlalu banyak. By the way jika suka jenis ikan Moorish idol, maka si ikan akan banyak ditemukan di Alor.
taman laut Bia Tabang
taman laut Bia Tabang
taman laut Bia Tabang
taman laut Bia Tabang
taman laut Bia Tabang
Uma Pura – Desa di Pulau Ternate
Sebuah dermaga batu di atas air jernih biru semakin jelas dan membesar di mata saya, saat kapal yang kami tumpangi perlahan mendekat dan pada akhirnya berlabuh.
Dermaga Ternate
“Halo” “Halo” “Halo” seruan-seruan dari anak-anak Uma Pura bersahutan, menyambut kami dengan senyum lebar dan menunjukkan giginya yang putih bersinar pada kulit gelap khas Timur Indonesia.
bocah Ternate
Turun dari kapal, kami berjalan beriringan di jalan sempit berkelok dengan lereng di sebelah kanan. Berjalan mengitari sedikit sisi Pulau Ternate menuju ke desa yang mempunyai penghasilan utama sebagai pengrajin tenun ikat bagi para wanitanya.
perairan di Pulau Ternate
jalan setapak ke Uma Pura - Desa Ternate
Rumah-rumah di area berundak dengan pemandangan indahnya lautan Alor. Sedikit menyesatkan untuk saya tetapi harus saya akui lingkungannya terjaga sangat bersih dan di setiap jendela dan pintu yang terbuka selalu ada senyum ramah, seolah berucap selamat datang. I was so welcomed here.
pengrajin tenun ikat
para gadis Ternate
Seorang wanita muda duduk di samping kain-kain tenun dagangannya.
“Berapa ini?” tawar saya pada sebuah selendang merah dengan motif utama penyu.
“Lima puluh ribu” jawabnya sambil tersenyum.
“Okay saya mau ini” timpal saya dengan membalas senyum tulus tersebut.
Entah apakah hanya prasangka saja tetapi saya seperti menangkap sedikit kerling senang saat alih-alih membungkus selendang itu, saya langsung memakainya.
selendang merah dengan motif penyu
Pantai Jawa Toda
Sebuah pantai pasir putih yang indah, seperti Pantai Pantar Kumbang yang sangat menggoda untuk dijadikan latar belakang foto.
Pantai Jawa Toda
“Snorkeling-an aja yuk” celetuk seorang teman.
“Yuk” “Iya” jawab kami lainnya.
Dan urung sang kapten menurunkan jangkar di sini dan kembali berlayar menuju ke spot snorkeling lain di Alor.

Pantai Hari Lolong – Pulau Pura
Pulau Pura yang sama tetapi di spot yang berbeda. Spot yang cenderung tak memiliki pantai selain gugusan karang di tepi pulaunya dengan perairan dangkal yang cukup sempit. Hari lolong menurut saya adalah spot snorkeling lain di Alor yang indah dengan kelebihan lain dari spot lainnya yaitu dengan banyaknya schooling big fish (ketemu schooling anakan barracuda juga di sini).
Kelemahan snorkeling di sini adalah arusnya yang sangat kuat. Snorkeling dengan life vest dan fin sangat disarankan di sini, kecuali bagi perenang-perenang yang sangat kuat.
seorang teman mengejar schooling fish
schooling fish
taman laut Hari Lolong
“Bagus nih di sini, tapi buset arusnya kuat banget, cape nih ngayuh fin balik ke sini” seru saya sesaat setelah kembali ke kapal.
“Iya, arusnya kuat” timpal Prue.
“Gue harus berhenti beberapa kali buat istirahat, itu pun masih keseret-seret mulu” tanggap saya disela nafas yang kembali normal.
“Sama haha” jawab Prue.

“Eh itu pada ngapain yah kok pada minggir ke karang-karang sono”
“Pasti pada kecape-an itu haha”
Dan kami berempat yang telah kembali ke kapal pun melanjutkan pembicaraan kami.

“Tuh mereka pada jalan haha trus kayaknya baru snorkeling lagi dari seberang buat balik ke kapal”
“Iya haha, arusnya kuat memang”
Dan begitu Didith naik ke kapal, si Dwi langsung kena semprot. Rupanya mereka bukan sengaja menepi tetapi terseret arus dan terdampar di sana.
Lambaian tangan tak kami lihat dari kapal karena kami asik ngobrol dan foto ke arah lain. Teriakan dan suara peluit tak kami dengar karena memang angin berhembus ke arah mereka, bukan ke arah kami.

Untungnya semua selamat sampai ke kapal lagi. Semua percik emosi yang mungkin timbul kembali menjadi ledakan tawa dan canda. Thanks God kami bisa tertawa bersama masih dengan formasi yang lengkap. Niscaya insiden itu akan menjadi cerita lucu kami dan peringatan waspada bagi yang mendengar.

Pulau Kepa
Ke pulau kecil ini kami kembali, dan kali ini untuk menghabiskan 1 malam menginap di rumah penduduk Kepa dan menikmati petang yang tenang.
view dari rumah yang kami inapi
“Kemarin tuh ada banyak banget lumba-lumba lewat selat ini” kata Agus.
“Seriusan Gus” seru yang lain.
“Iya. Nih fotonya” jawab Agus sambil menunjukkan foto lumba-lumba yang sedang bermain di selat tepat di depan rumah yang kami inapi.
Sayang sore itu, kawanan lumba-lumba yang konon mencapai ratusan, tak melewati selat di depan kami.

Malam makin larut dan angin laut berhembus cukup kencang. Perlahan gerombolan kami satu persatu mulai meninggalkan lingkaran kecil itu dan beristirahat menutup jendela hatinya dan berkelana kembali ke dunia utopia, left no sound but peaceful breath.

Tersisa kami bertiga, saya, Dwi dan Papa pemilik rumah.
“Papa, agak susah yah jika untuk kebutuhan air bersih harus membawa bergalon-galon air dari Alor?” tanya Dwi.
“Iya, tetapi semoga janji Bupati yang baru terpilih bisa dipenuhi. Bupati yang baru berjanji akan mengadakan jaringan pipa air bersih ke Kepa dan juga aliran listrik” jawab papa (papa  adalah panggilan bagi pria berusia yang jauh lebih tua, sedangkan mama untuk wanita).

Saya tak ikut mengobrol. Saya duduk sedikit terlentang untuk menikmati jutaan bintang yang terhambur berkilauan pada kanvas hitam di atas sana, mencoba menghitung bintang jatuh yang sedari tadi sering terlihat.

***
Hari 4,
Terbangun dengan pemandangan selat berwarna biru muda antara Pulau Alor dan Pula Kepa, membuat hati ini tenang dan damai.

Sayang kami tak bisa berlama-lama dan selepas sarapan pagi, kami mengucap terima kasih dan selamat jalan kepada papa dan mama pemilik rumah. Menyeberang kembali ke Dermaga Alor Kecil dan melanjutkan penjelajahan kami di hari ke 3 di darat.

Desa Alor Besar
Pemberhentian pertama adalah Uma Fanja untuk melihat Al Quran yang konon telah berusia 800 tahun dan tertulis pada kertas kayu, yang secara turun temurun diwarisankan kepada generasi penerus dari leluhur sang empunya Al Quran.
Al Quran dan tempatnya
Pasar Kadelang
Pasar tradisional yang ada di pusat Kota Alor ini tak beda dengan pasar-pasar tradisional khas Indonesia lainnya. Kami berhenti sejenak untuk membeli sirih, pinang dan kapur sebagai bingkisan di tujuan kami berikutnya.
Pasar Kadelang
Seorang teman menyempatkan diri untuk blusukan ke dalam pasar dan membeli biji kenari Alor yang ternyata cukup terkenal. Saya? Menunggu di depan pasar, bukan karena tak suka tetapi lebih karena jika masuk, maka saya akan membutuhkan waktu lama untuk menyusurinya, padahal saya tak ingin terlambat ke tujuan berikutnya.

Desa Takpala
Sebuah desa tradisional aktif dari Suku Abui di Pulau Alor yang terletak di dataran tinggi/bukit tak jauh dari kota. Saat kami melangkah mendekati dasar tangga undak batu, beberapa wanita dan pria dalam balutan pakaian adat telah siap menyambut kami.
mulai menarikan dan menyanyikan penyambutan
“Hat hat hat hat…” “Hat hat hat hat…” seruan prajurit-prajurit Takpala dalam lompatan-lompatan mereka, menjejas tanah berbatu dibawahnya. Seruan-seruan itu bergerak menjauh mengikuti sang empunya suara mendekat ke pusat desa dimana ritual penyambutan dan tarian-tarian akan dipertunjukkan kepada kami.
Deras dendang wanita-wanita Takpala tak ketinggalan dalam membuat ritual penyambutan ini menjadi semakin khusyuk dan indah syahdu berpadu manis dengan suara gesekan dedaunan dari pohon-pohon yang tumbuh tinggi memagari jalanan batu Takpala.
hat hat hat
2 tarian dipertunjukkan kepada kami, yaitu Lego-lego dan Cakalele. Kedua tarian yang kurang lebih hampir sama baik dari segi nyanyian maupun gerak, tetapi tetap indah dan menarik untuk dinikmati secara berurutan. Pada saat Tarian Cakalele, beberapa teman diajak dan bergabung dalam tarian monoton indah yang menghanyutan itu. Sangat menarik!
Tarian diawali dengan seruan-seruan dan dendang nyanyian dari para wanita Takpala. Nyanyian terus didendangkan dalam nada monoton indah menghipnotis, diiringi gemerincing gelang kaki, mengikuti gerakan perlahan dari langkah kaki para penari. Tarian perlahan membentuk sebuah pusaran yang berpusat pada jejang batu yang berbentuk bulat dengan 3 Moko di atasnya. Sungguh mempesona, sesuatu yang harus dilihat secara langsung, batin saya.
tarian berawal dari lingkaran besar ini
sang prajurit
deras dendang dan gemericing gelang kaki sang penari
bunda dan gadisnya
calon kembang Desa Takpala
berpose dengan sang prajurit dan sang penari
Pantai Batu Putih, Pantai Ilawe, Pantai Dehere, dan lain lain.
Meninggalkan Desa Takpala, kami berkelana menyusuri pantai-pantai indah berpasir putih khas Alor, dengan hamparan laut biru dan turquoise khas Laut Flores.

Begitu banyak pantai-pantai perawan yang tetiba ada dan terlihat dari jalan raya dan benar-benar sepi sunyi tanpa seorang pun pengunjung yang nampak menorehkan jejaknya.
Pantai Batu Putih
Pantai Batu Putih
Pantai ... er lupa between Ilawe dan Dehere
***
Hari 5,
Hari terakhir di Pulau Alor dan dari Tukang Jalan sudah tidak ada itinerary lagi, alias acara bebas. Beberapa teman memang sudah harus meninggalkan Alor sejak pagi. Sedangkan saya dan Adi masih harus penunggu lewat makan siang untuk kembali terbang ke Kupang dan berlanjut ke Jakarta.

Kami yang tersisa memutuskan untuk kembali ber-snorkeling di Pantai Sebanjar, spot favorite saya. Untungnya saya berhasil membujuk teman seperjalanan yang lain (Adi, Prue, Dwi dan Agus) untuk menemani saya.

Pantai Sebanjar
“Gimana? Puas sudah?” Prue bertanya.
“Puas dan no regret buat balik Jakarta siang ini” jawab saya, seusai menikmati taman laut Pantai Sebanjar, untuk kedua kalinya.
“Haha… pastinya” gelak yang lain.
bareng bocah-bocah Sebanjar
taman laut Sebanjar
taman laut Sebanjar
taman laut Sebanjar
taman laut Sebanjar
taman laut Sebanjar - triplet Moorish Idols
taman laut Sebanjar
taman laut Sebanjar
taman laut Sebanjar
taman laut Sebanjar
Dan seusai membilas muka dan tangan dengan air mineral serta berganti pakaian kering di belakang semak-semak, saya dan Adi siap untuk diantar ke Bandara Udara Mali.

Bandara Udara Mali
Pukul 12.30 WITA saya dan Adi duduk bengong di bandara, pesawat kami ke Kupang yang dikabarkan dimajukan 1 jam dari jadwal ternyata delay tanpa batas waktu, karena angin yang berhembus melebihi batas keamanan dari Aviation Policy untuk pesawat baling-baling.
Pukul 13.00 WITA Adi duduk terkantuk di dalam ruang boarding bandara, meanwhile saya bergabung dengan teman-teman penerbangan pagi, duduk bengong di warung depan bandara. Iya! Teman-teman seperjalanan pagi tadi (Retno, Didith, Paul, Rudi, Upi, Liza) juga delay karena alasan yang sama.
Pukul 15.00 WITA kami meninggalkan bandara kembali ke Home Stay Om Chris, karena officially penerbangan hari ini dibatalkan semua hingga besok pagi.
angin 25 knot
Desa Takpala
Kami memutuskan untuk menghabiskan waktu yang sedikit tersisa pada sore itu untuk kembali mengunjungi Desa Takpala. Benar kami telah ke sana dan tak bakalan ada lagi tarian penyambutan lagi, tetapi kemarin memang kami cukup tergesa-gesa dan tak sempat untuk menjelajahi pasar dadakan yang menjual kerajinan tangan Takpala.

Sampai di desa tersebut, kami tetap disambut oleh senyuman ramah, meski tak sebanyak kemarin tentunya. Penduduk Takpala juga sudah berpakaian biasa saja, tetapi pasar dadakan kerajinan Takpala masih ada yang buka beberapa. Jadinya kami asyik sendiri karena tak ada satu pun pengunjung lain, selain kami berdelapan.

Saya dan beberapa teman asyik mengublek-ublek hasil kerajinan Takpala yang dipamerkan dan dijual.
3 orang teman mencoba memakai busana adat yang kemarin dipakai oleh Suku Abui dalam menyambut dan menari untuk kami.
Lainnya sibuk mendengarkan sejarah, kepercayaan dan adat istiadat lain dari Suku Abui di Desa Takpala oleh salah seorang sesepuh.
rumah adat Suku Abui di Desa Takpala
Hari 6, (tambahan)
Bandar Udara Mali
Pukul 07.00 WITA akhirnya kami bisa terbang ke Kupang.

Sesaat saya menebarkan pandangan saya melihat pemandangan Bandara Udara Mali yang indah. Saya tersenyum lebar dan masuk kedalam pesawat baling-baling tersebut.

“Selamat pagi” sapa seorang pramugari.
“Pagi” timpal saya.
Bandara Udara Mali
***
Liburan yang sebenarnya sama sekali tak saya rencanakan. Liburan yang saya putuskan secara impulsive dari ajakan Adi.
Tujuan yang tidak membuat saya berharap banyak saat berangkat, tetapi mendapatkan lebih saat saya tiba dan meninggalkannya.

Penduduk Alor sangat ramah bersahabat dan mencintai kebersihan, tak heran jarang sekali saya melihat sudut atau tempat yang jorok dengan sampah berhamburan. Wisatawan asing dan lokal di Alor diperlakukan dengan sama baiknya, sehingga sangat nyaman untuk saya yang sempat beberapa kali mengalami diskriminasi di Bali.

Alor memiliki landscape yang indah dan bersih, budaya yang menarik dan taman laut yang menakjubkan. Saya merasa mendapatkan the whole package dalam liburan ini. Uang yang saya keluarkan dalam liburan ini tidaklah sedikit menurut ukuran kantong saya, tetapi saya tetap tersenyum dan bahagia. It’s totally worth it. Money well spent.

Semoga suatu saat saya bisa kembali ke sini dan semoga apa yang indah di sini dapat tetap terjaga, seperti sedia kala memukau pemujanya.
***

2 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete